Senin, 26 Mei 2014

Deretan Cerita Fiksi ~




#1: Aku, Kamu, Berubah.

(Kelas horor itu, 14.00)

“Aku merindukan kita yang dulu,”katamu lirih sembari menatap dalam tepat ke kedua mataku.

Aku tersenyum tipis lalu menelungkupkan wajahku di atas meja. Kedua mata hangatmu yang berada dibalik bingkai kacamata itu, aku tak dapat menatapnya lebih lama lagi karena aku yakin tak lama lagi pasti semua akan terasa menyakitkan. Aku tertawa pelan sembari menyelipkan seuntai rambut bandelku yang terlepas dari kunciran asalku ke balik telinga kiriku.

“Kita yang dulu? Kamu mau ngeliat aku ngambek tiap dua detik sekali?,”kataku setengah bercanda dengan gaya dramatikku yang khas.

Keadaan kita kini memang berubah, entah apa sebabnya, hanya kita berdua yang tau apa alasannya. Semua penonton kisah kita, yang menyimak hubungan aneh kita, hanya dapat melihat kedekatan dan keakraban kita tetapi aku yakin bahwa di tengah-tengah kita ada sebuah jurang pemisah. Sekarang dengan keluarnya pernyataan itu dari mulutmu, aku sadar bahwa jurang pemisah itu bukan  hanya sepihak kurasakan.

Tapi..

Di depanmu.
Cukup didepan matamu, aku ingin menjadi orang yang tegar dan mampu berdiri di atas kakiku meski seberat apapun bebanku. Cukup di depan pemilik sepasang mata nan ekspresif itu, setidaknya aku terlihat kuat.

Oleh karena itu, meski aku ingin mengiyakan kata-katamu, aku tetap dengan egoku bertahan tuk tidak mengungkapnya. Tak apa, asal tak menjadi beban bagimu.

“Bukan itu maksudku...” Suaramu yang memelas membuatku setengah mati ingin menertawakannya.

Seolah tak mendengar suara memelasmu, aku melepas kunciran rambutku dan kembali mengikatnya serapi mungkin walau sebenarnya tetap saja jauh dari kata rapi.

“Sepertinya banyak yang membenci kuncir rambutku,”candaku sambil mengalihkan topik pembicaraan kami.

“Oh ya? Dia justru ga suka nguncir rambutnya loh..”

Untuk sedetik, gerakanku terhenti. Aku menyadari sesuatu yang terjadi padamu.

Kebiasaan lamamu yang sempat memudar itu kini telah kembali. Kamu kembali membandingkanku dengan cewe lain. Sadar atau tidak kamu telah berubah kembali menjadi orang yang kukenal lima bulan lalu; Si Pembanding.

Aku tau kamu tak sadar bahwa Si Pembanding telah kembali karena dengan ceria kamu melanjutkan kata demi kata tentang perempuan tanpa kuncir itu. Ya, kamu jatuh cinta. Setidaknya begitulah pikirku.

Sudah lama aku tak melihat sepasang mata itu bersinar karena menceritakan seorang perempuan. Dan kini aku kembali melihatnya. Dan saat aku melihatnya, aku sadar satu hal.

Cepat atau lambat, kamu akan berubah menjadi Sang Kekasih Perempuan Tanpa Kuncir itu dan bukan lagi sebagai Sahabat Perempuan Aneh ini.

Aku tidak cemburu ketika kamu dengan bahagia menuturkan cerita-cerita barumu dengan perempuan itu, aku sahabatmu, tentu saja aku bahagia. Bukankah itu keinginanmu?

Aku hanya takut kehilanganmu.

-Karena setiap orang yang memiliki
 kekasih akan berubah menjadi seseorang
yang tak dikenal sahabatnya sendiri lagi-

***

#2: Pengakuan Selirih Angin.

(Tepian Koridor Sekolah, 15.30)

“Aku ingin pacaran..”

Kata-kataku yang selirih hembusan angin sore itu, mampu membuat kedua kepala sahabatku yang mengapitku langsung menoleh ke arahku. Keheningan yang tadinya tercipta di antara kami kini terpecahkan dengan 3 kata yang keluar dari mulutku.

“Kamu yakin tidak kenapa-napa?”

Aku tersenyum kecil sambil menggeleng pelan, menatap kedua sahabat dekatku bergantian. “Dia..” Aku berhenti sebentar untuk menghela nafas. “Akan memiliki pacar sebentar lagi.”

Dua wajah manis didepanku langsung terbelalak kaget. Bukankah kenyataan memang selalu mengejutkan?

“Dengan siapa?,”todong salah satu dari mereka.

Dengan pelan aku menyebutkan nama panggilan cewe itu, nama yang sangat familiar di telinga kami semua.

“Kamu cemburu?”

Aku berpikir sebentar, lalu menggeleng pelan. “Aku hanya tidak ingin kehilangan dia lebih jauh lagi..”

Salah satu dari mereka yang awalanya hanya diam, langsung bertanya satu hal yang mengejutkan bagiku. “Kalau kamu tidak ingin kehilangan dia, kenapa kamu tidak menahannya?”

Aku terdiam, rasanya menohok mendengar sesuatu yang untuk pertama kalinya tak bisa kujawab. Aku tertunduk, tidak tau harus berbuat apa lagi. Setelah lama dalam keheningan, aku berkata dengan pelan. “Bagaimana menghentikannya? Aku sahabatnya, bukankah itu keinginannya?”

Sahabatku yang lainnya, yang baru saja putus dari kekasihnya segera menatapku. “Ya udah, kalau begitu, nanti malam mungkin kamu bakal merasakan yang namanya kesepian. Pokoknya kamu harus nyibukkin diri sendiri. Entah ngegame atau belajar.”

Aku mengangguk pelan lalu tersenyum kecil ketika menyadari satu hal. Tak apa kalau ia pergi, asal mereka tetap disini.

-Seorang sahabat menaruh kasih
 setiap waktu, menjadi kebaikan
dalam setiap kesukaran-

***

#3: Heningnya Hati

(Dalam gelapnya kamar, saat matahari telah terbenam)

Aku berbaring meluruskan kakiku yang masih terbalut kain kasa di atas dinding kamarku yang gelap. Seberkas cahaya yang masuk dari pintu kamarku yang terbuka membuat kesuraman di ruangan ini terasa nyata. Aku baru saja  mengalami kecelakaan lalu lintas dan setelahnya mengalami kecelakaan batin. Luka di kaki dapat dibalut dan diobati selama lukanya belum kering, tetapi luka hati?

“Sedang apa, Kak?,”tanya adik perempuanku dari luar kamarku. Aku menyelonjorkan kepalaku ke bawah tempat tidur lalu memandangi punggungnya diruang tengah. “Tidak menelpon dia?”

“Enggak..” aku membalasnya lirih, entah kemana hilangnya suara cemprengku yang memekikkan telinga. “Dia akan memiliki seseorang yang baru. Kekasih.”

Tanpa bertanya lebih dalam, ia malah mengedikkan bahunya. “Semua orang yang memiliki kekasih akan berubah. Pasti.”

Entah sengaja atau tidak, ia memutar lagu-lagu mengiris-iris hati. Awalnya aku bertahan mendengarkan tanpa menitikkan air mata. Hingga lagu itu terdengar, lagu yang mendengungkan suara ballad Ariana Grande.

Almost, almost is never enough.
So close to being in love.
If i would have known that you wanted me.
The way i wanted you.

Aku bertahan untuk tidak menangis sambil mengigit bawah bibirku. Bahkan lagu selanjutnya yang mengalun jauh lebih menyayat hati. One last cry.

One last cry before i leave it all behind.
I gotta put you outta my mind this time.
Stop living a lie, i guess i’m down to my last cry.

“Kalau mau menangis, menangis aja, Kak.”

Aku terdiam, memasukkan diriku ke dalam sudut kamar yang tergelap. Dan menangis disana.

Tanpa suara.

-Karena keluarga adalah
tempat untuk
kembali dan pulang-

***

#4: Penyesuaian Hati Tanpa Kamu

(Beberapa waktu kemudian, cepat atau lambat)

Aku memandangi layar ponselku yang gelap kali ini, akhir-akhir ini tanda kehidupan di ponselku semakin lama semakin menghilang seiring saat-saat kamu memulai sesuatu yang baru bersamanya. Di ponsel ini, dengan berat hati aku menghapus seluruh sisa kenangan yang tak sengaja tertinggal.

Biasa saja, aku selalu peduli tentangmu :p
Pesan Diterima: 02.04.2014

Singkat? Berarti kamu belum merindukanku, dunia memang kejam --" aku selalu mencarimu, tetapi aku diam :p
Pesan Diterima: 02.04.2014

Aku ingat seluruh pesan-pesan konyolmu yang tanpa kamu sadari membuatku tertawa setiap kali membacanya.

Delete all messages?

Tulisan di layar ponselku seolah-olah menanyakan keyakinanku untuk menghapus pesan-pesan singkatmu yang kusimpan. Dengan jari bergetar, aku menekan tombol Yes dan salah satu kenangan kita dari ponsel ini.

Setelah itu aku membuka conversations di ponselku dan menemukan namamu tertera disana. Aku membuka seluruh percakapan aneh kita, membacanya dan tertawa untuk terakhir kalinya.

Delete this conversation?

Yes.

Tak cukup sampai disana, aku beralih pada gallery, koleksi kenangan yang terlengkap. Foto liburan kita yang pertama, foto selfie aku dan kamu, dan foto saat kita dihukum bersama. Aku tertawa pelan menatap seluruh kenangan manis ini, entah bisa terulang atau tidak, aku tidak tau.

Delete all photos?

Yes.

Dan aku teringat pada sebuah rahasia yang hanya kuketahui sendiri, bahwa terkadang aku merekam percakapan telepon kita. Ya, beberapa rekaman tersimpan rapi di ponselku. Saat membicarakan cita-cita, saat kamu marah karena aku mengabaikanmu dan saat sebelum fajar menyingsing kita malah tertawa bersama. Tanpa perlu mendengar lagi rekaman itu, aku melakukannya lagi.

Delete all recordings?

Yes.

Semuanya benar-benar bersih sekarang, setidaknya ini merupakan langkah pertama yang bagus untuk melupakanmu. Hingga tanpa sadar aku mulai menulis pesan singkat untukmu.

Hey.
Lama tidak bertemu, apa kabarmu dengan dia yang mampu membahagiakanmu? Aku sahabatmu, namun tetap saja kamu tidak menceritakan bagaimana kamu dan dia berjalan bersama dalam satu hubungan. Tak apa, meski sekarang kamu lupa bahwa aku masih bernafas, nanti saat kamu memerlukanku walau hanya untuk sekedar bercerita, aku siap. Karena itulah gunanya sahabat. Dibuang dan dipungut kembali.

Aku tertegun membaca pesan singkatku yang cukup aneh.

Send?

No.

Save to drafts?

Yes.

-Sometimes, you just have to erase the messages, delete the photos and move one.
You don’t have to forget who that person was to you.
You just have to accept that they aren’t that person anymore-

(Terkadang, kamu hanya harus menghapus pesan, menghapus foto dan berpindah.
Kamu tak perlu melupakan siapa orang itu dulu untukmu.
Kamu hanya harus menerima bahwa kini dia bukan yang dulu lagi.)

Jumat, 23 Mei 2014

Catatan Tak Berarti (:

Meski engkau bukan hal pertama yang terlintas di kepalaku ketika aku terbangun di pagi buta, engkau tetap orang pertama yang selalu kupertanyakan dalam benakku tiap pagi datang.

“Sudahkah engkau bangun? Ingatkah engkau apa yang merasuki mimpimu semalam tadi? Adakah aku disana? Walaupun hanya sekedar melangkah melintas di alam yang tak pernah mampu kujangkau itu.”

Dalam koridor hatiku yang belum aku ketahui dimana ujungnya, engkau terlebih dahulu sudah menyusurinya. Meninggalkan jejak-jejak kecil kenangan tak terlupakan di setiap petak kosong hati sepi ini.

Lihat aku yang selalu bisa baca tawamu namun tak pernah sanggup menggenggam pikiran misteriusmu. Tak pernah terlihat, walaupun hanya bayangan yang jatuh di lantai, aku memang tak pernah terlihat di matamu.

Engkau yang dapat kulihat di dunia nyata dan kupeluk di alam mimpi, sadarkah engkau akan kehadiranku yang membabi buta selalu berada di balik punggungmu? Mengawasimu dari kejauhan, menjagaimu dalam pandangan mata dan tak lupa tuk menyebutkan namamu setiap kali aku berbicara pada Sang Pencipta.Ya, aku membicarakan keberadaanmu dalam hidupku kepadanya sembari selalu bertanya beberapa baris pertanyaan yang sama tiap harinya.

“Apakah Kau menciptakan kebetulan dalam setiap gerak rasa ini kepada salah satu makhluk yang Kau letakkan dalam hidupku? Apakah hadirnya yang selalu kurindukan hanyalah sebuah ketidak sengajaan yang tercipta dari genggam tanganMu? Tidakkah kami layak tuk menjadi salah satu dari ‘takdir’ yang Kau ciptakan?”

Engkau memiliki sepasang telapak tangan hangat yang selalu ingin kugenggam, namun segera kusadari keberadaanmu yang kini berjauhan denganku semakin menegaskan sebuah kenyataan bahwa ‘aku-kamu’ takkan pernah berubah menjadi satu kata yang begitu ku damba.

‘Kita’.

Engkaulah oasis segar dalam padang gurun sepi hidup ini. Salah satu hal yang terus teringat dalam setiap ayunan cepat langkahku. Seakan embun segar di atas pucuk pohon pada setiap pagi buta, engkau datang seketika, memberikan kesegaran pengharapan dan aku yakin tak lama lagi engkau akan menguap pergi begitu saja.

Engkau yang disana yang selalu menjadi tujuan setiap sajak-sajak kecilku, menjadi penghuni pada setiap lautan aksaraku; dalam setiap gerakmu yang tak kumengerti namun penuh arti juga tiap kali kedua sorot mata indahmu menatapku, hanya ini yang ingin ku ucapkan.

“Terimakasih.”

Dan karena itu aku akan tetap diam, bertahan dan menunggu disini. Hingga suatu waktu yang kuharapkan agar engkau sadar apa yang selama ini selalu kulakukan.

Mencintaimu.

Tanpa sengaja.

Tanpa perlu alasan.

Tanpa tau tujuan.


(catatan tak berarti dengan alunan suara Ariana Grande dalam kamar yang penuh kegelapan manakala matahari terbenam)

Sabtu, 17 Mei 2014

Tulisan Ke Tiga Puluh Enam ~

"Apa yang terkadang menurutmu berharga hari ini, dapat menjadi hal yang paling sangat tidak penting esok hari."

Bener?

Kemarin temen SMPku curhat tentang masalah cowo. Ceritanya ribet pake banget --" kayaknya si cowo naksir dia tapi temennya naksir ni cowo. Terus si cowo malah PHP gitu, pokoknya lilit-lilit gitu lah ya. Terus sampai akhirnya satu kalimat paling atas itu lewat dikepalaku. Iya, cuman ngelintas doang.

Coba pikir hari ini bisa aja kalian lagi sayang-sayangan sama pacar kalian tapi esoknya malah berantem terus putus. Ngelupain gitu aja apa yang berharga buat kalian kemarin.

Sekarang aku ada di posisi menjadi 'yang berharga' buat seseorang yang juga berharga buat aku. Sebuah pertanyaan melintas kembali di benakku.

Akankah aku menjadi hal yang paling sangat tidak penting esok hari baginya?

Senin, 12 Mei 2014

How I Think About Love (Pt. II): Saat Aku Jatuh Cinta

Aku yang tak percaya pada eksistensi cinta—pada kehadiran sepucuk rasa yang hanya meninggalkan luka setelah berbahagia dalam halusinasi sekejap mata—kini bertanya-tanya dalam benakku; akankah aku jatuh cinta lagi?

Jika tidak, akankah aku merasakan kesepian suatu saat nanti? Akankah aku merindukan setiap sensasi aneh dan tak logis pada kerja jantungku ketika aku jatuh cinta? Apakah suatu saat nanti, entah kapan tepatnya, aku akan menginginkan perasaan itu kembali tinggal dalam hatiku?

Tetapi, bagaimana jika jawabnya ya? Jika aku—tanpa kuinginkan—kembali jatuh dalam rasa itu, apa yang harus kulakukan? Apakah aku, seseorang yang meludahi setiap langkah kehadiran cinta, akan tenggelam dalamnya? Atau aku akan bertahan membutakan mata, menulikan telinga dan membisukan bibir agar aku tetap dalam konsistensiku—juga dengan setiap konsekuensinya? Membiarkan diri sendiri terkekang dalam prinsip egoku? Akankah begitu?

Aku menutup sepasang kelopak mataku, membiarkan anganku menari-nari dalam kegelapan tiada batas, tiada ujung. Anganku menghempaskanku dengan pelan di atas lapisan waktu yang begitu kukenali. Lapisan waktu saat-saat dimana aku jatuh cinta, ketika cinta membiarkanku menggantikan fungsi oksigen dalam paru-paruku dengan kehadiran pucuk-pucuk harapan itu.

Saat aku jatuh cinta, tanpa kusadari aku berubah menjadi seseorang yang dalam pantulan bayang cerminannya tak kukenali lagi.

Saat aku jatuh cinta, aku yang egois dan mementingkan diriku di atas segala-galanya lambat laun akan mencair dan akhirnya akan melembut. Melemparkan gengsi yang sebelumnya kujunjung tinggi melampaui batas, jauh ke dasar diri yang tak terlihat.

Saat aku jatuh cinta, dunia yang dulunya tampak kusam dibalik kabut asap yang tebal, tampak memudar kini. Memperlihatkan manis dan indahnya dirinya sebenarnya, menampilkan setiap warna-warna ceria yang tak kulihat sebelumnya.

Saat aku jatuh cinta, secangkir kopi hitam nan pahit yang dulunya sangat kubenci, menjadi sesuatu yang lumrah untuk berada menemaniku di semburat-semburat jingga senja. Karena setiap kali aku melihat cangkir kosong yang menyisakan ampas kopi kehitaman di dasarnya, aku teringat pada tawa miliknya yang sepahit kopi ini namun tetap terdengar seceria embun pagi.

Saat aku jatuh cinta, aku melupakan siapa diriku sebelumnya, bagaimana aku menjalani hidup tanpanya dulu, alasan mengapa aku tertawa walau sebenarnya tak bahagia. Yang kuingat waktu itu adalah bagaimana mengetahui siapa dirinya sebenarnya, bagaimana ia menjalani hidupnya kini dan alasan mengapa ia tertawa—walau ku tau—sebenarnya ia tak bahagia.

Saat aku jatuh cinta.. pentingkah masa lalunya? Pentingkah latar belakangnya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin kuketahui jawabnya meski ia dengan sukarela menjawabnya.

Saat aku jatuh cinta, aku selalu berharap bahwa ia juga merasakan sesuatu dalam dirinya tentangku. Bahwa cepat atau lambat ia akan sadar bahwa aku juga seorang yang penting dalam hari-harinya. Ikut menjadi peranan spesial yang mengisi drama kehidupannya. Aku selalu berharap bahwa semua khayalku tentangnya bukan hanya sebuah ilusi semata yang kurasakan sepihak.

Saat aku jatuh cinta, aku sadar bahwa nyatanya ia tidak jauh berbeda dengan yang lain. Ia tidak spesial pada awalnya, ia hanya seseorang yang kebetulan melintas dalam hidupku pada saat dan tempat yang tak terduga. Dan aku memilihnya karena ia sama dengan yang lain namun meninggalkan kesan yang berbeda, yang tak terlupakan dan nyaris mustahil tuk dibuang begitu saja.

Karena dalam setiap sudut kesamaannya dengan yang lain, ia mampu membuatku bereaksi jauh berbeda pada setiap perkataannya ataupun tutur lakunya. Karena sebenarnya, meski ia sama, meski ia terlihat tak spesial, nyatanya ia tetap berharga bagiku.

Karenanya, saat aku jatuh cinta adalah ketika aku merasakan salah satu waktu-waktu terindah sekaligus berbahaya dalam hidup ini.

Entah nanti, apakah aku akan jatuh cinta lagi atau tidak, siapapun orangnya, semoga ia bukan sekedar ilusi semata. Semoga ia benar adanya. Semoga setiap cangkir kopi hitam itu membuktikan bahwa aku menantinya. Keberadaan cinta yang benar adanya..