Senin, 12 Mei 2014

How I Think About Love (Pt. II): Saat Aku Jatuh Cinta

Aku yang tak percaya pada eksistensi cinta—pada kehadiran sepucuk rasa yang hanya meninggalkan luka setelah berbahagia dalam halusinasi sekejap mata—kini bertanya-tanya dalam benakku; akankah aku jatuh cinta lagi?

Jika tidak, akankah aku merasakan kesepian suatu saat nanti? Akankah aku merindukan setiap sensasi aneh dan tak logis pada kerja jantungku ketika aku jatuh cinta? Apakah suatu saat nanti, entah kapan tepatnya, aku akan menginginkan perasaan itu kembali tinggal dalam hatiku?

Tetapi, bagaimana jika jawabnya ya? Jika aku—tanpa kuinginkan—kembali jatuh dalam rasa itu, apa yang harus kulakukan? Apakah aku, seseorang yang meludahi setiap langkah kehadiran cinta, akan tenggelam dalamnya? Atau aku akan bertahan membutakan mata, menulikan telinga dan membisukan bibir agar aku tetap dalam konsistensiku—juga dengan setiap konsekuensinya? Membiarkan diri sendiri terkekang dalam prinsip egoku? Akankah begitu?

Aku menutup sepasang kelopak mataku, membiarkan anganku menari-nari dalam kegelapan tiada batas, tiada ujung. Anganku menghempaskanku dengan pelan di atas lapisan waktu yang begitu kukenali. Lapisan waktu saat-saat dimana aku jatuh cinta, ketika cinta membiarkanku menggantikan fungsi oksigen dalam paru-paruku dengan kehadiran pucuk-pucuk harapan itu.

Saat aku jatuh cinta, tanpa kusadari aku berubah menjadi seseorang yang dalam pantulan bayang cerminannya tak kukenali lagi.

Saat aku jatuh cinta, aku yang egois dan mementingkan diriku di atas segala-galanya lambat laun akan mencair dan akhirnya akan melembut. Melemparkan gengsi yang sebelumnya kujunjung tinggi melampaui batas, jauh ke dasar diri yang tak terlihat.

Saat aku jatuh cinta, dunia yang dulunya tampak kusam dibalik kabut asap yang tebal, tampak memudar kini. Memperlihatkan manis dan indahnya dirinya sebenarnya, menampilkan setiap warna-warna ceria yang tak kulihat sebelumnya.

Saat aku jatuh cinta, secangkir kopi hitam nan pahit yang dulunya sangat kubenci, menjadi sesuatu yang lumrah untuk berada menemaniku di semburat-semburat jingga senja. Karena setiap kali aku melihat cangkir kosong yang menyisakan ampas kopi kehitaman di dasarnya, aku teringat pada tawa miliknya yang sepahit kopi ini namun tetap terdengar seceria embun pagi.

Saat aku jatuh cinta, aku melupakan siapa diriku sebelumnya, bagaimana aku menjalani hidup tanpanya dulu, alasan mengapa aku tertawa walau sebenarnya tak bahagia. Yang kuingat waktu itu adalah bagaimana mengetahui siapa dirinya sebenarnya, bagaimana ia menjalani hidupnya kini dan alasan mengapa ia tertawa—walau ku tau—sebenarnya ia tak bahagia.

Saat aku jatuh cinta.. pentingkah masa lalunya? Pentingkah latar belakangnya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin kuketahui jawabnya meski ia dengan sukarela menjawabnya.

Saat aku jatuh cinta, aku selalu berharap bahwa ia juga merasakan sesuatu dalam dirinya tentangku. Bahwa cepat atau lambat ia akan sadar bahwa aku juga seorang yang penting dalam hari-harinya. Ikut menjadi peranan spesial yang mengisi drama kehidupannya. Aku selalu berharap bahwa semua khayalku tentangnya bukan hanya sebuah ilusi semata yang kurasakan sepihak.

Saat aku jatuh cinta, aku sadar bahwa nyatanya ia tidak jauh berbeda dengan yang lain. Ia tidak spesial pada awalnya, ia hanya seseorang yang kebetulan melintas dalam hidupku pada saat dan tempat yang tak terduga. Dan aku memilihnya karena ia sama dengan yang lain namun meninggalkan kesan yang berbeda, yang tak terlupakan dan nyaris mustahil tuk dibuang begitu saja.

Karena dalam setiap sudut kesamaannya dengan yang lain, ia mampu membuatku bereaksi jauh berbeda pada setiap perkataannya ataupun tutur lakunya. Karena sebenarnya, meski ia sama, meski ia terlihat tak spesial, nyatanya ia tetap berharga bagiku.

Karenanya, saat aku jatuh cinta adalah ketika aku merasakan salah satu waktu-waktu terindah sekaligus berbahaya dalam hidup ini.

Entah nanti, apakah aku akan jatuh cinta lagi atau tidak, siapapun orangnya, semoga ia bukan sekedar ilusi semata. Semoga ia benar adanya. Semoga setiap cangkir kopi hitam itu membuktikan bahwa aku menantinya. Keberadaan cinta yang benar adanya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar