Minggu, 06 April 2014

Hey, Soulmate !!!



“Ketika kami bertemu, tanpa kami sadari itu bukanlah kebetulan..”

Itulah kalimat pembuka di postingan aku kali ini yang berjudul Hey, Soulmate. Postinganku kali ini membahas tentang keberadaan soulmate yang sebagian banyak orang yakini sebagai belahan jiwa atau jodoh bahkan sebagian kecil orang tidak percaya. Well, kan pendapat orang beda-beda. Aku pribadi lebih condong yakin kalo soulmate sebagai belahan jiwa dan bukan jodoh, karena menurutku mereka itu berbeda.

Belahan Jiwa : orang yang mampu mengetahui kamu tanpa perlu penjelasan dan menyeimbangkan kekurangan daan kelebihan kamu.

Jodoh              : orang yang tanpa kamu sadari selalu mencoba mengerti kamu dan menerima kelebihan dan kekurangan kamu apa adanya.

Tadi itu cuman opini aku sih, tapi sebenarnya contoh konkrit yang ada dalam hidup kalian. Jodoh itu cuman satu dan aku belum nemuin dia sampai sekarang sementara soulmate mungkin memang juga cuman satu tapi sebelum kamu nemu the only one mungkin kamu akan sempat terkecoh dengan kehadiran yang lain dan menganggapnya belahan jiwamu juga sebelum kamu menemukan fakta bahwa selama ini ia hanya berpura-pura memahamimu.

Aku punya soulmate selama hampir setahun ini (bulan Agustus ato September ini setahun kayaknya =D) yang rada awkward tapi menyenangkan. Kami sekelas tahun ini—dan tahun-tahun berikutnya juga—dan mulai akrab di pertengahan semester satu. Menurut dia, pertama kali kami ketemu itu waktu pendaftaran masuk sekolahku sekarang. Katanya, waktu itu pendaftaran dibuka 3 hari dan berhubung selama 3 hari itu aku datang terus—dia juga datang ternyata—dia ngeliat aku yang waktu itu tidak sewaras sekarang. Hari pertama-kedua sih katanya dia biasa aja ngeliat akunya. Hari ketiga ternyata kami sama-sama ngedaftar dan dia ngeliat waktu namaku dipanggil aku hampir jatoh. Menurut dia gara-gara akunya terlalu semangat, tapi kenyataannya otakku aja yang emang ga balancing aja. Itu menurut versi dia, sedangkan aku berbeda.

Aku tidak melihat—apalagi mengenalnya—waktu pendaftaran selama 3 hari berturut-turut di sekolah itu. Jadi, tentu saja itu bukan pertama kali kami bertemu karena dalam kasus ini hanya dia yang melihatku tanpa respons balik dari aku. Nah, pertama kali aku ngeliat namanya waktu pengumuman kelulusan pendaftaran yang keluar di internet. Nama dia ga terlalu jauh waktu itu dari namaku, tepatnya dia berada di urutan 7 sementara aku di bagian lebih atas. Pertanyaannya : Kenapa aku justru ngeliat si no 7 daripada no 2 ato 3 yang urutannya lebih dekat ke namaku?

Simple. Dia yang waktu itu no 7, tepat diatas namanya ada nama seorang yang sangat amat kukenal di masa lalu. Lagipula, nama kami itu hampir sama singkatnya makanya aku langsung inget namanya. Ini pertama kali aku tau namanya, sementara orangnya?

Aku cukup jutek waktu pertama kali masuk sekolah (yang tidak percaya bisa hubungi teman-teman sekelas ku --") dan paling males disuruh merhatiin murid kalo lagi perkenalan. Banter, aku merhatiin nama cewe-cewe doang walaupun awalnya rada jutek juga sih. Sementara cowonya ga ada yang kuinget satupun, bahkan waktu itu dia duduk di belakangku dalam keadaan aku tetep ga sadar dia si no 7 itu. Aku tau dia itu temen sekelasku tapi aku ga tau namanya, yang aku tau dia yang paling bising (baca: bawel) plus hyperaktif. Sampai aku tau namanya waktu pengangkatan ketua kelas.

Pak Yahya : “Sebagai wali kelas kalian, Bapak akan menyusun organisasi kelas ini.”

*kelas hening*

Pak Yahya : “Ada yang mau jadi ketua kelas?”

*kelas makin hening*

Nah, disini aku bingung entah gimana caranya Pak Yahya nyebutin nama dia dengan lantang dan nunjuk dia sebagai ketua kelas. Sontak semua orang langsung noleh ke dia—kecuali aku—dan nunggu jawaban dia. Dia sih kayaknya ngangguk-ngangguk gitu soalnya aku kan ga noleh mana ga ada suaranya, pokoknya intinya dia jadi ketua kelas begitulah.

Pak Yahya : “Sekarang Bapak akan menyerahkan pengurus lainnya di tangan *nyebutin nama dia* dan kalian semua. Bapak tinggal sebentar, nanti kalau Bapak datang lagi Bapak mau kalian sudah punya pengurus kelas.”

Waktu Pak Yahya keluar dari ruangan, sekelas ribut nyari wakil ketua kelas. Awalnya, mereka nunjuk aku. Mati-matian aku nolak karena aku paling males disuruh-suruh jadi babu ketua kelas dan akhirnya disinilah aku jadi sekretaris kelas (baca: budak + babu satu kelas). Disitu aku ngeliat dia untuk pertama kalinya, di depan kelas, ngebaca doa tetep dengan lawakannya dan membuat aku ngecap dia sebagai makhluk paling hypocrite di kelas itu.

Aku tidak menyukainya, membencinya atau berharap untuk dekat dengannya pada saat itu. Menurutku, dia tidak lebih dari cowo bawel yang ngelawak ga tau tempat dan suasana tapi ga pernah berhasil bikin aku ketawa. Sampai suatu ketika aku ngeliat si nomor 6—orang yang sangat amat kukenal DULU bukan sekarang—di kantin lagi makan tepat di meja sebelah si nomor 7 yang juga lagi makan bareng temen-temennya. Sementara aku duduk di depan mereka sambil makan juga, menghadap mereka tapi saking penasarannya sama si nomor 6 aku malah lebih ngeliatin dia daripada temen-temenku. Akhirnya waktu kami mau keluar dari kantin waktu untuk pertama kalinya beberapa detik terlama dalam hidupku telah terjadi. Mata kami berbenturan (aku sama si nomor 6, plis deh) dan aku memutuskan untuk tersenyum kecil seperti yang biasa kami lakukan dulu.

Guess what?

Nomor 6 malah buang muka dengan hebatnya ngebikin aku dongkol setengah mati. Tanpa sadar, aku malah ngegebrak meja yang ada di dekatku. Meja si nomor 7 ternyata! Karena berasa awkward jadilah aku teriak kecil SKSD sama si nomor 7 biar dia nya ga curiga.

“Kalo makan, jangan lupa nafas!”

Itu kalimat kebohongan terburuk yang pernah kukeluarkan waktu itu. Dia kayaknya terkejut hampir mati gara-gara aku neriakin gitu di kantin. Seolah-olah kena alzhemeir tingkat kritis, aku berbalik dan langsung pergi gitu aja. Mukanya sih dongkol banget kayaknya seolah-olah ntar keturunannya bakal dia latih buat bales dendam ke aku dan keturunanku. Tapi ternyata dendamnya terbalaskan lebih cepat dari itu lho ya.

Di hari itu juga, setelah selesai dari kantin aku duduk di pinggir lantai teras ruang kejuruan dekat selokan bareng temen deket aku. Waktu itu aku punya pulpen kesayangan yang selalu kubawa kemana-mana. Warna biru-putih dengan tinta hitam terus ditutupnya ada kepala elang gitu. Kece lah pokoknya. Dan dengan segenap dendamnya tuh anak si nomor 7 malah neriakin namaku dari belakang membuat pulpenku gelinding jatoh ke tanah.

Aku udah deg-degan sambil dalam hati nyumpahin ni anak kualat kalo sampai pulpenku jatoh ke selokan nista itu. Pulpennya ngegelinding dan tepat di pinggir selokan di berhenti. Aku senyum girang walau agak dongkol juga, tapi ngeliat ekspresi dongkol si nomor 7 aku tau ini sudah termasuk dalam kriminalitas terencana. Baru aja aku mau ngambil pulpenku itu, ga tau entah angin muson atau doa si nomor 7 yang terkabul, si pulpen malah gelinding lagi dan nyebur ke selokan nista itu dengan super suksesnya.

Aku cengo. Temenku juga cengo walaupun setelah itu ngakak (jahatnya kamu, Zza). Sementara si nomor 7? Ngakak banget tepat di dekat telingaku. Akhirnya selama beberapa minggu tiap kali lewat selokan, si nomor 7 bakal bilang gini ke aku di hadapan temen-temen yang lain:

“Wah, kayaknya pulpen yang di selokan kemaren udah ga ada. Kamu ambil lagi ya waktu kami ga liat?” Kampret.

Setelah itu kami baru mulai akrab, bahkan ngebentuk sebuah komunitas yang namanya GGM (Gerakan Gagal Moveon) di kelas. Tapi sekarang komunitasnya udah bubar soalnya udah bisa move on semua kecuali satu, Si Wakil *pukpuk kamuh ya*.

Eniwei, kami jadi soulmate seiring berjalannya waktu. Kami itu suka hal yang sama tapi sebenarnya berbeda. Kami sama-sama suka musik western, bedanya aku suka alternative rock tapi dia malah suka pop-country. Sama-sama suka baca buku, bedanya aku suka misteri pembunuhan, dia lebih ke arah roman percintaan. Dia ketua kelas, aku sekretaris. Dia bego, aku idiot *ups, aib*.

Kadang kami bisa berhubungan dengan sesuatu yang kami sebut sebagai “telepati”. Kami bisa berbicara lewat tatapan mata, kadang ngomong barengan dan ga suka hal yang sama. Tapi, jangan kira kami akur banget sampai ga pernah berantem. Sebelum tanggal 26 Januari, perkelahian kami tak terhingga gitu kalo dihitung. Aku lebih sering ngambek, gara-gara telepati kami lagi ga nyambung, jadi miskomunikasi begitulah. Terakhir kali aku ngambek cukup lama 3 minggu, gara-gara dia satu hari itu nyuekin aku dan malah kemana-mana sama temenku. Hebatnya, aku ngambek waktu itu malah bikin twitter lebih berguna. Kami malah saling nyindir dan berantem di sana daripada di dunia nyata. Pernah sekali nyindir di dunia nyata, aku bilang kek gini ke temen cowo yang udah ku anggap kayak adek sendiri: “Gimana rasanya dibuang, Dick? Ga enak kan? Emang kok kita yang selalu jadi sampah.”

Dia duduk disitu ngeliat aku yang juga ngeliat dia terus dia pasang muka cemberut gitu. Hoho, I win. Kami baikan dan sampai saat ini dia ngubah karakter aku banget. Yang jutekan, keras dan ngambekan nya ganti jadi lebih dewasa. Sekarang, dia malah bisa ngambek (demi apapun, dia ngambek itu mengerikan bangetss -_-) dan juga lebih jutek sekarang, jarang nanyain kabar, sekarang kalo ga ditelepon ga bakal nelpon, pokoknya berubah lah ya.

Tapi emang gitu kan, semua orang memang berubah, cepat atau lambat, kita berubah. Jadi meskipun sekarang dia jadi jutekan dan ngambekan dia tetep soulmateku yang selama ini selalu ada buat aku, yang ngebantu aku moveon dengan susah payah dan yang ngeladenin childishnya aku.

 Jadi, Mas, meskipun sekarang kamu berubah kamu tetep sahabatku, aku tetep ada di samping kamu sama seperti dulu kamu ada di samping aku. Meskipun kamu bukan soulmate pertamaku, tapi kamu tetap sama berharganya bahkan lebih daripada mereka. Kita tetap bakal seperti ini saling percaya dan saling memahami walau susah kan?

Ga papa kok sekarang kamu jadi jutekan, ngambekan, jarang turun (apalagi sabtu), ga pekaan dan sensitif soalnya aku yang dulu kayaknya jauh lebih mengerikan. Tapi, sepertinya kamu udah jarang ngebandingin aku sama dia. Makasih ya.

 
I hope you remember this :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar