“Ketika kami bertemu, tanpa kami sadari itu bukanlah
kebetulan..”
Itulah kalimat pembuka di postingan aku kali ini
yang berjudul Hey, Soulmate.
Postinganku kali ini membahas tentang keberadaan soulmate yang sebagian banyak
orang yakini sebagai belahan jiwa atau jodoh bahkan sebagian kecil orang tidak
percaya. Well, kan pendapat orang
beda-beda. Aku pribadi lebih condong yakin kalo soulmate sebagai belahan jiwa dan bukan jodoh, karena menurutku
mereka itu berbeda.
Belahan Jiwa : orang yang mampu mengetahui kamu tanpa perlu
penjelasan dan menyeimbangkan kekurangan daan kelebihan kamu.
Jodoh :
orang yang tanpa kamu sadari selalu mencoba mengerti kamu dan menerima
kelebihan dan kekurangan kamu apa adanya.
Tadi itu cuman opini aku sih, tapi sebenarnya contoh
konkrit yang ada dalam hidup kalian. Jodoh itu cuman satu dan aku belum nemuin
dia sampai sekarang sementara soulmate mungkin
memang juga cuman satu tapi sebelum kamu nemu the only one mungkin kamu akan sempat terkecoh dengan kehadiran
yang lain dan menganggapnya belahan jiwamu juga sebelum kamu menemukan fakta
bahwa selama ini ia hanya berpura-pura
memahamimu.
Aku punya soulmate
selama hampir setahun ini (bulan Agustus ato September ini setahun kayaknya
=D) yang rada awkward tapi
menyenangkan. Kami sekelas tahun ini—dan tahun-tahun berikutnya juga—dan mulai
akrab di pertengahan semester satu. Menurut dia, pertama kali kami ketemu itu
waktu pendaftaran masuk sekolahku sekarang. Katanya, waktu itu pendaftaran
dibuka 3 hari dan berhubung selama 3 hari itu aku datang terus—dia juga datang
ternyata—dia ngeliat aku yang waktu itu tidak sewaras sekarang. Hari
pertama-kedua sih katanya dia biasa aja ngeliat akunya. Hari ketiga ternyata
kami sama-sama ngedaftar dan dia ngeliat waktu namaku dipanggil aku hampir jatoh.
Menurut dia gara-gara akunya terlalu semangat, tapi kenyataannya otakku aja
yang emang ga balancing aja. Itu
menurut versi dia, sedangkan aku berbeda.
Aku tidak melihat—apalagi mengenalnya—waktu
pendaftaran selama 3 hari berturut-turut di sekolah itu. Jadi, tentu saja itu
bukan pertama kali kami bertemu karena dalam kasus ini hanya dia yang melihatku
tanpa respons balik dari aku. Nah, pertama kali aku ngeliat namanya waktu
pengumuman kelulusan pendaftaran yang keluar di internet. Nama dia ga terlalu
jauh waktu itu dari namaku, tepatnya dia berada di urutan 7 sementara aku di
bagian lebih atas. Pertanyaannya : Kenapa
aku justru ngeliat si no 7 daripada no 2 ato 3 yang urutannya lebih dekat ke
namaku?
Simple. Dia yang waktu itu no 7, tepat diatas namanya ada
nama seorang yang sangat amat kukenal di masa lalu. Lagipula, nama kami itu
hampir sama singkatnya makanya aku langsung inget namanya. Ini pertama kali aku
tau namanya, sementara orangnya?
Aku cukup jutek waktu pertama kali masuk sekolah
(yang tidak percaya bisa hubungi teman-teman sekelas ku --") dan paling
males disuruh merhatiin murid kalo lagi perkenalan. Banter, aku merhatiin nama
cewe-cewe doang walaupun awalnya rada jutek juga sih. Sementara cowonya ga ada
yang kuinget satupun, bahkan waktu itu dia duduk di belakangku dalam keadaan
aku tetep ga sadar dia si no 7 itu. Aku tau dia itu temen sekelasku tapi aku ga
tau namanya, yang aku tau dia yang paling bising (baca: bawel) plus hyperaktif. Sampai aku tau namanya waktu
pengangkatan ketua kelas.
Pak Yahya : “Sebagai wali kelas kalian, Bapak akan
menyusun organisasi kelas ini.”
*kelas hening*
Pak Yahya : “Ada yang mau jadi ketua kelas?”
*kelas makin hening*
Nah, disini aku bingung entah gimana caranya Pak
Yahya nyebutin nama dia dengan lantang dan nunjuk dia sebagai ketua kelas.
Sontak semua orang langsung noleh ke dia—kecuali aku—dan nunggu jawaban dia.
Dia sih kayaknya ngangguk-ngangguk gitu soalnya aku kan ga noleh mana ga ada
suaranya, pokoknya intinya dia jadi ketua kelas begitulah.
Pak Yahya : “Sekarang Bapak akan menyerahkan pengurus
lainnya di tangan *nyebutin nama dia* dan kalian semua. Bapak tinggal sebentar,
nanti kalau Bapak datang lagi Bapak mau kalian sudah punya pengurus kelas.”
Waktu Pak Yahya keluar dari ruangan, sekelas ribut
nyari wakil ketua kelas. Awalnya, mereka nunjuk aku. Mati-matian aku nolak
karena aku paling males disuruh-suruh jadi babu ketua kelas dan akhirnya
disinilah aku jadi sekretaris kelas (baca: budak + babu satu kelas). Disitu aku
ngeliat dia untuk pertama kalinya, di depan kelas, ngebaca doa tetep dengan
lawakannya dan membuat aku ngecap dia sebagai makhluk paling hypocrite di kelas itu.
Aku tidak menyukainya, membencinya atau berharap
untuk dekat dengannya pada saat itu. Menurutku, dia tidak lebih dari cowo bawel
yang ngelawak ga tau tempat dan suasana tapi ga pernah berhasil bikin aku
ketawa. Sampai suatu ketika aku ngeliat si nomor 6—orang yang sangat amat
kukenal DULU bukan sekarang—di
kantin lagi makan tepat di meja sebelah si nomor 7 yang juga lagi makan bareng
temen-temennya. Sementara aku duduk di depan mereka sambil makan juga,
menghadap mereka tapi saking penasarannya sama si nomor 6 aku malah lebih
ngeliatin dia daripada temen-temenku. Akhirnya waktu kami mau keluar dari
kantin waktu untuk pertama kalinya beberapa detik terlama dalam hidupku telah
terjadi. Mata kami berbenturan (aku sama si nomor 6, plis deh) dan aku
memutuskan untuk tersenyum kecil seperti yang biasa kami lakukan dulu.
Guess what?
Nomor 6 malah buang muka dengan hebatnya ngebikin
aku dongkol setengah mati. Tanpa sadar, aku malah ngegebrak meja yang ada di
dekatku. Meja si nomor 7 ternyata! Karena berasa awkward jadilah aku teriak kecil SKSD sama si nomor 7 biar dia nya
ga curiga.
“Kalo makan, jangan lupa nafas!”
Itu kalimat kebohongan terburuk yang pernah
kukeluarkan waktu itu. Dia kayaknya terkejut hampir mati gara-gara aku neriakin
gitu di kantin. Seolah-olah kena alzhemeir
tingkat kritis, aku berbalik dan langsung pergi gitu aja. Mukanya sih
dongkol banget kayaknya seolah-olah ntar keturunannya bakal dia latih buat
bales dendam ke aku dan keturunanku. Tapi ternyata dendamnya terbalaskan lebih
cepat dari itu lho ya.
Di hari itu juga, setelah selesai dari kantin aku
duduk di pinggir lantai teras ruang kejuruan dekat selokan bareng temen deket
aku. Waktu itu aku punya pulpen kesayangan yang selalu kubawa kemana-mana.
Warna biru-putih dengan tinta hitam terus ditutupnya ada kepala elang gitu.
Kece lah pokoknya. Dan dengan segenap dendamnya tuh anak si nomor 7 malah neriakin
namaku dari belakang membuat pulpenku gelinding jatoh ke tanah.
Aku udah deg-degan sambil dalam hati nyumpahin ni
anak kualat kalo sampai pulpenku jatoh ke selokan nista itu. Pulpennya
ngegelinding dan tepat di pinggir selokan di berhenti. Aku senyum girang walau
agak dongkol juga, tapi ngeliat ekspresi dongkol si nomor 7 aku tau ini sudah
termasuk dalam kriminalitas terencana. Baru aja aku mau ngambil pulpenku itu,
ga tau entah angin muson atau doa si nomor 7 yang terkabul, si pulpen malah
gelinding lagi dan nyebur ke selokan nista itu dengan super suksesnya.
Aku cengo. Temenku juga cengo walaupun setelah itu
ngakak (jahatnya kamu, Zza). Sementara si nomor 7? Ngakak banget tepat di dekat
telingaku. Akhirnya selama beberapa minggu tiap kali lewat selokan, si nomor 7
bakal bilang gini ke aku di hadapan temen-temen yang lain:
“Wah, kayaknya pulpen yang di selokan kemaren udah
ga ada. Kamu ambil lagi ya waktu kami ga liat?” Kampret.
Setelah itu kami baru mulai akrab, bahkan ngebentuk
sebuah komunitas yang namanya GGM (Gerakan Gagal Moveon) di kelas. Tapi
sekarang komunitasnya udah bubar soalnya udah bisa move on semua kecuali satu,
Si Wakil *pukpuk kamuh ya*.
Eniwei, kami jadi soulmate seiring berjalannya waktu. Kami itu suka hal yang sama
tapi sebenarnya berbeda. Kami sama-sama suka musik western, bedanya aku suka alternative
rock tapi dia malah suka pop-country.
Sama-sama suka baca buku, bedanya aku suka misteri pembunuhan, dia lebih ke
arah roman percintaan. Dia ketua kelas, aku sekretaris. Dia bego, aku idiot
*ups, aib*.
Kadang kami bisa berhubungan dengan sesuatu yang
kami sebut sebagai “telepati”. Kami bisa berbicara lewat tatapan mata, kadang
ngomong barengan dan ga suka hal yang sama. Tapi, jangan kira kami akur banget
sampai ga pernah berantem. Sebelum tanggal 26 Januari, perkelahian kami tak
terhingga gitu kalo dihitung. Aku lebih sering ngambek, gara-gara telepati kami
lagi ga nyambung, jadi miskomunikasi begitulah. Terakhir kali aku ngambek cukup
lama 3 minggu, gara-gara dia satu hari itu nyuekin aku dan malah kemana-mana
sama temenku. Hebatnya, aku ngambek waktu itu malah bikin twitter lebih
berguna. Kami malah saling nyindir dan berantem di sana daripada di dunia
nyata. Pernah sekali nyindir di dunia nyata, aku bilang kek gini ke temen cowo
yang udah ku anggap kayak adek sendiri: “Gimana rasanya dibuang, Dick? Ga enak
kan? Emang kok kita yang selalu jadi sampah.”
Dia duduk disitu ngeliat aku yang juga ngeliat dia
terus dia pasang muka cemberut gitu. Hoho, I
win. Kami baikan dan sampai saat ini dia ngubah karakter aku banget. Yang
jutekan, keras dan ngambekan nya ganti jadi lebih dewasa. Sekarang, dia malah
bisa ngambek (demi apapun, dia ngambek itu mengerikan bangetss -_-) dan juga
lebih jutek sekarang, jarang nanyain kabar, sekarang kalo ga ditelepon ga bakal
nelpon, pokoknya berubah lah ya.
Tapi emang gitu kan, semua orang memang berubah,
cepat atau lambat, kita berubah. Jadi meskipun sekarang dia jadi jutekan dan
ngambekan dia tetep soulmateku yang
selama ini selalu ada buat aku, yang ngebantu aku moveon dengan susah payah dan yang ngeladenin childishnya aku.
Jadi, Mas,
meskipun sekarang kamu berubah kamu tetep sahabatku, aku tetep ada di samping
kamu sama seperti dulu kamu ada di samping aku. Meskipun kamu bukan soulmate pertamaku, tapi kamu tetap sama
berharganya bahkan lebih daripada mereka. Kita tetap bakal seperti ini saling
percaya dan saling memahami walau susah kan?
Ga papa kok
sekarang kamu jadi jutekan, ngambekan, jarang turun (apalagi sabtu), ga pekaan
dan sensitif soalnya aku yang dulu kayaknya jauh lebih mengerikan. Tapi,
sepertinya kamu udah jarang ngebandingin aku sama dia. Makasih ya.
I
hope you remember this :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar